Promosi dan Diskaun

Rabu, 13 Julai 2011

Buntu...

Apabila tidak dapat memikirkan idea-idea baru...
Kenapa tiba-tiba berlaku...
Sabar dulu...tarik nafas sedalam-dalamnya dan hembuskan perlahan-lahan...

Penyelesaian pasti ada...
Jangan cepat mengalah...jangan berhenti berfikir...

Orang yang berjaya bukanlah orang yang tak pernah gagal...tetapi orang tidak berhenti berusaha...
Untuk sentiasa berjaya mesti sentiasa berusaha...
Mengapai matlamat yang disemat dalam minda...

Jumaat, 8 Julai 2011

Firasat...bulu mata gugur.

Firasat, biasanya sebahagian orang ada juga yang menyebutnya dengan istilah feeling. Firasat adalah sebuah keadaan yang dirasakan terhadap sesuatu.

Time makan tengahari tadi tersedak skit...Sapa laa yang dok sebut² nama aku ni...Selang sejam selepas tu bulu mata kanan pulak gugur...Kata orang tua-tua, jika bulu mata kita gugur tanda ada orang rindu kat kita...Sapa laa yang nak rindu² kat aku ni plak...ish ish ish...

Rabu, 6 Julai 2011

Sifat Merantau Suku Bugis

Pedagang, saudagar, pengusaha, atau nama apa pun semacam itu dan perantau adalah ciri yang melekat pada kebanyakan orang Bugis dan Makassar, atau suku- suku lain yang ada di Sulsel dan Sulawesi Barat.

Di hampir semua provinsi di Nusantara ini bisa dipastikan ada orang asal Sulsel di situ dengan pekerjaan utama pedagang atau pengusaha. Terbukti saat Pertemuan Saudagar Bugis-Makassar awal November lalu, ratusan perwakilan saudagar Bugis-Makassar yang berasal dari dalam dan luar negeri ikut hadir.
"Sejak zaman dahulu, orang Bugis memang sudah kental dengan sifat perantau. Di perantauan, mereka terkenal punya semangat juang dan semangat hidup lebih besar. Dalam sejarahnya, sejak dulu hingga sekarang, biasanya begitu masuk di suatu daerah mereka langsung menguasai pasar," kata Ima Kesuma, Kepala Museum Kota Makassar yang banyak melakukan penelitian tentang orang Bugis.

"Menguasai dalam arti berdagang. Biasanya dari berdagang di pasar, mereka kemudian berdagang hasil bumi, bahkan membeli tanah dan bertani atau berkebun. Setelah itu mereka mulai ke usaha lain-lain," ungkapnya.

Menurut Ima, satu hal yang membuat orang Bugis bisa diterima di mana-mana dan akhirnya cukup mencolok jika sudah berhasil di perantauan adalah semboyan "di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung".

"Kalau orang Bugis sukses di perantauan, mereka akan kaya dan membelanjakan uangnya di perantauan. Mereka membangun rumahnya juga di rantau dan bukan di kampung. Kalaupun mereka menginvestasi di kampung, biasanya hanya sedikit. Itu pun biasanya dalam bentuk membangun masjid, membangun rumah orangtua, atau semacam itu. Orang Bugis biasanya berprinsip di mana mereka merasa tenang dan nyaman hidup sekaligus berusaha, itulah yang dianggap tanah mereka," papar Ima.

Kesemua itu pula agaknya yang membuat Christian Pelras, seorang Perancis, akhirnya meneliti orang Bugis, bahkan membuat buku The Bugis. Padahal, awalnya Pelras mau melakukan penelitian tentang budaya Melayu di Malaysia.

"Orang Bugis sebenarnya bukan pelaut, tetapi pedagang. Yang lebih pantas disebut pelaut adalah orang Mandar (suku di Sulawesi Barat). Namun, yang kemudian membuat orang Bugis terkenal sebagai pelaut karena dalam berdagang, mereka banyak menggunakan jalur laut. Mau tidak mau agar sukses sebagai pedagang, mereka juga harus menguasai jalur laut. Makanya mereka juga terkenal tangguh di laut," papar Pelras.

Itu dibenarkan Edward Poelinggomang, pakar sejarah dari Universitas Hasanuddin. Menurut dia, berbagai laporan dan catatan maupun dokumen di Belanda banyak menyebut kehebatan perdagangan maritim dan Pelabuhan Makassar abad ke-19.

Kata Edward, pada abad ke-17 saudagar-saudagar Bugis/Makassar sudah memiliki Loji (tempat untuk tinggal, berdagang, gudang, dan agen perwakilan) di Manila dan Makau. Dalam catatan sejarah, pedagang Bugis ternyata juga punya andil dalam kemajuan Singapura. Buktinya, kampung pertama yang dibangun di pulau itu adalah Kampung Bugis di daerah Gelam.

Menurut Edward, sebenarnya jika Indonesia dan rakyatnya ingin maju, bercermin pada sejarah dan pengalaman masa lalu, terutama semangat juang dan kegigihan para pendahulu, bukanlah sesuatu yang bodoh. Sayangnya, banyak keteladanan masa lalu yang kini mulai pupus.

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/09/Fokus/3154982.htm

The Bugis tentang Nenek Moyang Orang Bugis

Dari mana nenek-moyang orang Sulawesi Selatan berasal? … jika anggapan Mills benar bahwa lokasi pertama yang ditempati para pendatang adalah sekitar muara Sungai Saddang, maka kemungkinan besar asalnya dari Kalimantan Timur, yakni sekitar Kutei-Samarinda, atau dari bagian tenggara Kalimantan, yakni sekitar Pegatan-Pulau Laut (belakangan, pada kedua wilayah itu terdapat perkampungan bugis. Mungkin tanpa disadari, mereka sebenarnya telah kembali ke tempat asal nenek-moyang mereka) …”

Demikian Christian Pelras, menulis salah satu tesis tentang asal nenek moyang orang Bugis di Sulawesi Selatan, di dalam bukunya Manusia Bugis (Nalar, 2006 hal. 45, terjemahan dari The Bugis, 1996). Tesis ini sudah lama dikemukakan oleh seorang ahli bahasa, Roger F. Mills, yaitu pada tahun 1975, namun bagi masyarakat umum di Indonesia pendapat ini mungkin masih baru.
Selain baru, juga menarik sebab pemahaman yang ada adalah orang Bugis (termasuk suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat) yang ada di Kalimantan Timur dewasa ini berasal dari pulau Sulawesi dari proses gelombang migrasi yang hampir terjadi sepanjang tahun, meski itu hanya per individu. Dengan kata lain, “Mereka kembali ke asal”. Betulkah demikian? Ada ilmuwan yang setuju, ada yang tidak. Namun dari penelitian kesamaan bahasa dan kedekatan geografis, itu sangat dimungkinkan untuk terjadi.
Terlepas orang Bugis “kembali” atau tidak, Kalimantan Timur merupakan salah satu kawasan penting di dalam sejarah migrasi orang Bugis, sejak ratusan tahun lampau sampai detik Ringkasan Buku The Bugis : Nenek Moyang Orang Bugis (Christian Pelras) ini dibuat. Untuk itu, pada gilirannya, dunia sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Kalimantan Timur tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Bugis atau Sulawesi Selatan secara umum.
Manusia Bugis di Kalimantan Timur tidaklah satu “jenis” saja. Pertama yang perlu diketahui, istilah “Bugis” sering diartikan sebagai “orang dari Sulawesi Selatan”, meski orang itu beretnik Makassar, Mandar, Bajau dan Toraja. Kedua, ada orang Bugis yang memang melakukan migrasi (lahir di tanah Sulawesi untuk kemudian pindah) dan ada yang orang hanya Bugis biologis saja, yaitu kedua (atau satu) orangtuanya berasal dari Sulawesi tetapi dia lahir di Kalimantan Timur.
Buku setebal 500 halaman ini merupakan buku terbaik tentang kebudayaan Suku Bugis. Artinya, dia bisa menjadi rujukan untuk dua hal di atas: perbedaan dan kesamaan Bugis dengan suku lain dan acuan generasi Bugis yang lahir di luar tana Ugi, misalnya di Kalimantan Timur ini. Manusia Bugis dan budayanya amatlah penting diketahui dari sumber yang obyektif sebab seringkali ada yang belum kita pahami hingga menimbulkan persepsi yang salah atau berlebihan terhadap Bugis dan manusianya.
Kalimat kunci yang menjadi benang merah antara: Pulau Sulawesi–manusia Bugis–migrasi–tujuan migrasi adalah alasan untuk melakukan perpindahan dari tanah kelahirannya ke daerah lain, baik di pulau yang sama (Sulawesi) maupun di seberang lautan: “…berhubungan dengan upaya mencari pemecahan konflik pribadi, menghindari penghinaan, kondisi
yang tidak aman, atau keinginan untuk melepaskan diri baik dari kondisi sosial yang tidak memuaskan, maupun hal-hal yang tidak diinginkan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan ditempat asal.” (hal. 370).
Dari alasan-alasan di atas, Pelras mengambil kasus orang Bugis di Kalimantan Timur sebagai salah satu contoh, yaitu perpindahan seorang bangsawan Wajo’ bernama La Ma’dukelleng bersama 3.000 pengikutnya ke Pasir. Dan oleh Sultan Pasir, perantau tersebut diberi tanah yang sekarang ini dikenal dengan nama Samarinda, kawasan yang dibesarkan oleh orang Bugis.
Alasan di atas berlanjut: “Hanya saja, alasan seperti itu saja tampaknya tidak akan cukup memadai untuk dijadikan landasan untuk memahami mengapa begitu banyak tersebar pemukiman orang Bugis di seluruh Nusantara sejak akhir abad ke-17. Juga tidak dapat menjelaskan kenyataan bahwa—terlepas dari keadaan yang terus berubah—aktivitas perantauan justru merupakan ciri khas “permanen” orang Bugis hingga kini”.
Lalu, sebenarnya budaya apa sih yang identik dengan manusia Bugis? Pertanyaan ini mudah dijawab untuk orang Bugis yang memang lahir dan besar di Sulawesi Selatan. Lalu bagaimana yang mengklaim dirinya sebagai to Bugis tetapi dia lahir di daerah lain, katakanlah Kalimantan Timur? Ya, dia berhak bersikap demikian jika kedua orangtuanya Bugis totok, hitung-hitung dia bisa berbahasa Bugis. Tapi ini kan hanya salah satu unsur budaya Bugis. Bagaimana dengan unsur-unsur budaya yang lain? Apakah dia juga memiliki sikap siriq dan pesseq? Apakah ketika dia lahir dan menikah oleh orangtuanya menggunakan budaya-budaya Bugis? Rumahnya berarsitektur rumah Bugis? Apakah dia menjadi bagian dari pranata sosial yang berkembang di tanah Bugis?
Inilah yang perlu dijawab dan dipahami generasi Bugis yang lahir di perantauan. Manusia Bugis dapat dijadikan sebagai bahan perenungan untuk dapat memposisikan diri sebagai generasi yang tidak kehilangan akar budaya meski dia lahir di luar tanah-budaya moyangnya; meski ciri Bugis hanya karena dia keturunan sepasan laki-laki dan perempuan yang berasal dari Sulawesi Selatan.
Bukan itu saja, orang lain yang mempunyai latar belakang suku yang berbeda tetapi bergaul dengan manusia Bugis di kesehariannya, misalnya sebagai isteri/suami, teman sekantor, rekan bisnis, dan sahabat juga penting untuk memahami budaya-budaya Bugis. Bagaimanapun, Banjar, Dayak, Jawa, dan suku lain di Kalimantan Timur mempunyai banyak perbedaan dengan budaya Bugis yang sedikit-banyak seringkali menimbulkan pergesakan yang berujung pada konflik. Pemahaman atas budaya Bugis dan sebaliknya (orang Bugis juga harus memahami budaya pihak lain) adalah salah satu cara untuk menjalin hubungan yang harmonis.
Di mata orang luar, orang Bugis dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, demi mempertahankan kehormatan (siriq), mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi kesetiakawanannya. Orang Bugis memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India, dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka. Orang Bugis juga memiliki kesusastraan, baik lisan maupun tulisan yang cukup dikagumi. Dan setelah menganut Islam, bersama Aceh, Minangkabau, Melayu, Sunda, Madura, Moro, Banjar, Makassar, dan Mandar, orang Bugis identik sebagai orang di Nusantara yang kuat identitas keislamannya.
http://kampungbugis.com/asal-nenek-moyang-suku-bugis-makassar/
Sumber : The Bugis (Christian Pelras) dan